Di antara ke-Maha-Kuasa-an Allah SWT, adalah Dia menciptakan manusia dalam keadaan berbeda-beda, baik dalam bentuk, sifat dan lain-lain. Bahkan, pada orang yang berwajah mirip pun pasti terdapat perbedaan dan kekhususan masing-masing. Rasa malu merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia, dan sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan binatang.
Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbeda-beda. Ada yang pemalu, ada yang tidak pemalu, dan agak pemalu. Islam sangat mengakui keberagaman setiap orang khususnya tentang sifat malu. Dan malu adalah bagian dari iman. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits:
Ibnu Umar r.a berkata, bahwa Nabi SAW melewati (melihat) seorang laki-laki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Biarkanlah dia. Karena sesungguhnya malu itu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari)
Namun demikian, DR. H. Rachmat Syafe’i, MA dari Universitas Islam Bandung dalam bukunya Al-Hadits menga-takan, bahwa malu yang dimaksud dalam hadits di atas bukan dalam arti bahasa, tetapi arti malu di sana adalah malu dalam mengerjakan kejelekan. Malu karena mengetahui bahwa Allah SWT pasti melihat setiap perbuatannya, sesuai dengan firman-Nya dalam Al Qur’an:
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
“ Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya. ” (QS. Al ‘Alaq: 14)
Dan Rasulullah SAW telah menasehatkan umatnya mulai dari empat belas abad yang lalu, agar mereka memiliki rasa malu yang hakiki. Seperti sabda beliau pada suatu hari kepada para sahabat :
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya”. Mereka berkata, “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabiyullah, dan segala puji bagi Allah”. Beliau bersabda, “itu bukalah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah SWT, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hen-daklah menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hen-daklah mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua ini, berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
Menurut para ulama, defenisi malu secara hakikat adalah “Sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau kurang sopan”. Menurut Abul Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, Al Hulaimy berpendapat bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melakukan kejelekan. Ibnu Hajar Al Qasthalany dalam kitabnya Fathu Al Bary mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang rasa malu. Bahwa merasa malu dalam menger-jakan perbuatan haram adalah wajib; dalam mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunat, dan dalam mengerjakan hal yang mubah adalah sebuah kebiasaan.
Perasaan malu seperti itulah yang merupakan salah satu cabang dari iman, Malu untuk melakukan perbuatan baik tidaklah ter-masuk dalam kategori hakikat malu yang diinginkan, bahkan bisa berakibat negatif. Seperti ada istilah “malu bertanya sesat di jalan”. Demikian pula sikap malu untuk mencegah ke-mungkaran. Karena Allah SWT tidak pernah malu menerang-kan kebenaran, sebagaimana firman-Nya:
وَاللَّهُ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
“… Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar...” (QS. Al Ahzab: 53)
Rasa malu yang benar selalu mendatangkan kebaikan, seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW: Imran bin Husain r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Malu itu tidak akan menimbulkan sesuatu, kecuali kebaikan semata.” (H.R bukhari dan Muslim)
Dan Islam sangat mencela sikap orang yang tidak memiliki rasa malu, terkhusus terhadap Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya :
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“ …Dan kamu takut (malu) kepada mannusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti (malui).”(QS. Al Ahzab : 37)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Malu itu termasuk bagian dari keimanan, dan keimanan itu berada di dalam sorga. Sedangkan sikap tidak tahu malu adalah termasuk perbuatan yang tidak baik, itu berada di dalam neraka.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)
Al Faqih Abi Laits As Samarqandi berpendapat bahwa malu dalam syari’at Islam terbagi dalam dua macam: Pertama, malu kepada Allah SWT, maksudnya ialah merasa-kan nikmat dari Allah SWT sehingga malu dan takut untuk berbuat maksiat atau melanggar larangan-Nya. Kedua, malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal yang tidak berguna.
Jika manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak berbeda lagi dengan binatang. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Al Faqih Ibnu Laits As Samarqandi dari pepatah seorang ulama kepada putranya. Coba kita simak ungkapan yang penuh dengan hikmah berikut ini:
“Hai putraku, jika nafsu syahwatmu mengajak berbuat dosa, pandanglah ke atas, hendaklah engkau malu kepada masyarakat langit yang mengawasinu, jika tidak tundukkan-lah matamu ke bumi dan hendaklah malu kepada penghuni-nya, dan jika demikian engkau masih belum dapat melakukan-nya, maka anggaplah engkau sendiri sebangsa hewan yang tidak berakal. Allahu A’lam bi ash shawab
BRJ MUMTAZ'09
Post a Comment for "Malu"