“Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18)
Dari segi
bahasa I’jab bin nafsi artinya rasa senang, tertarik atau kagum. A’jabahul
amru artinya sesuatu itu telah menjadikannya senang. U’jiba bihi
artinya ia menjadi terikat dengannya. (Kitab Lisanaul Arab, 1/85)
Menurut
istilah i’jab bin nafsi berarti merasa senang, megah, mulia, atau besar
terhadap diri sendiri. Jika dalam senangnya itu disertai sikap mengejek, atau
merendahkan perbuatan orang lain, maka hal itu disebut ghurur atau
sangat ujub. Dan bila rasa senangnya disertai dengan merendahkan pribadi
orang lain, dinamakan takabbur atau sangat ‘ujub sekali. (Mukhtasar Minhajul Qashidin,
hal 247-248)
Faktor-faktor
penyebab I’jab bin nafsi
Pertama:
An Nasy’atul Uula (latar
belakang kehi-dupan). Seseorang yang terbiasa hidup di bawah asuhan
orang tua yang memiliki sifat suka dipuji, baik dalam hal kebaikan atau
kebathilan, kebal terhadap nasehat atau kritik, dan hal lain yang termasuk
kategori I’jab bin nafsi berpeluang besar terkena penyakit tersebut.
Kedua: Al
Ithraa’u wal mad-hu fil wajhi duuna muraa’ati lil adaabi asy asyar’iyah al
muta’aliqah bizalik (Sanjungan
dan pujian di hadapannya yang tidak memper-hatikan adab Islam).
Mujahid bin
Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa pada suatu hari pernah ada seseorang yang
memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad Ibnu Aswad menaburkan tanah ke
mukanya, kemudian berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk
menaburkan tanah ke muka orang yang suka memuji.” (HR. Muslim)
Abdurrahman
bin Abi Barkah meriwayatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang
lain di dekat Rasulullah SAW. Melihat hal itu, beliau bersabda, “Celakalah
bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu.” Rasulullah mengatakan dengan
berulang kali, kemudian bersabda lagi, “Jika salah seorang dari kalian harus
memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira pulan dan hanya Allah
yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang mensucikan sesuatu
mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu jika telah mengetahuinya,
begini dan begini.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga : Al wuquufu ‘indan ni’mati wa nisyaamul mun’in (Terlena
oleh kenikmatan dan melupakan Allah Maha Pem-beri Nikmat). Sebagian orang ada yang telah dianugerahi
nikmat oleh Allah, baik berupa harta, ilmu, kemampuan, kedudukan, dan
sebagainya. Kemudian ia terlena oleh nikmat tersebut dan melupakan Allah SWT.
Di bawah kilauan nikmat akhirnya ia berbisik di dalam hatinya bahwa yang
mem-peroleh nikmat seperti dia hanyalah orang-orang yang memiliki
kelebihan dan kemampuan. Bisikan seperti
itu terus menerus akan menguasai hatinya, merasa senang dengan dirinya dan apa
yang dia lakukan, seklaipun ia melakukan kebathilan. Sifat orang yang seperti
itu digambarkan Allah SWT dalam Al Qur’an ketika menceritakan tentang Qarun,
sebagaimana firman-Nya (Q.S. Al Qashash: 78 dan 82)
Keempat:
Araaqatun nasabi au syaraful ashli (Merasa berasal dari keturunan terhormat dan bangsawan). Apakah kita
kebetulan dilahirkan dari ibu kita yang kebetulan dari garis keturunan
terhormat atau dari golongan bangsawan atau bukan, sama sekali di luar
kekuasaan kita. Dengan demikian, mengapa kita harus membangga-banggakannya atau
bersikap ujub? Oleh sebab itu Islam menekankan bahwasanya tanggung jawab
suatu amal itu atas setiap pribadi dan bukan dari orang lain.
Rasulullah
SAW bersabda: “Wahai kaum Quraisy, serahkanlah jiwamu kepada Allah, sebab
aku tidak dapat menolongmu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Bani Muthalib aku
tidak dapat menolongmu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul
Muthalib, aku tidak dapat menolongmu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai
Syafiyah, bibiku, aku tidak dapat menolongmu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai
Fatimah, putriku, mohonlah kepadaku apa yang kau inginkan, sesungguhnya aku tidak
dapat menolongmu sedikitpun di hadapan Allah.” (HR. Muslim)
Kelima: Al
ifraathu awil mubalaghatu fit tauqiiri wal ihtiraami (Terlalu berlebihan dalam memberi penghormatan).
Rasulullah SAW melarang para shahabat berdiri jika beliau datangatau untuk
menyambut kedatangannya, padahal Rasul SAW adalah orang yang sangat pantas
untuk dihormat, disamping seorang pemimpin beliau adalah Nabi dan Rasul Allah.
Beliau bersabda: “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri untuk
menghormatinya, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka.” (HR. Abu Dawud)
Fenomena
I’jab bin Nafsi
Menganggap
diri suci. Fenomena
pertama dari sikap i’jab bin nafsi yakni jika orang terlalu menganggap dirinya
suci atau merasa memiliki harkat dan
kedudukan yang tinggi. Orang-orang yang semacam itu lupa terhadap firman
Allah SWT : “ Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. An
Najm : 32)
Sulit
menerima nasehat. Fenomena
kedua, jika orang sulit menerima nasehat dari orang lain, atau senantiasa
menghindari nasehat. Padahal Rasulullah selalu menasehatkan bahwa tidak ada
kebaikan sedikitpun pada suatu kaum, jika mereka tidak saling nasehat
menasehati dan enggan menerima nasehat.
Senang
mendengarkan aib orang lain, terutama rekannya sendiri. Dalam kitab Al
‘Awaa’iq, Muhammad Ahmad Rasyid mengutip perkataan Fudhail bin ‘Iyadh r.a
bahwasanya ia berkata: “Sesungguhnya di antara ciri-ciri orang munafik ialah
mereka senang mendengarkan aib salah seorang temannya.”
Dampak buruk
akibat I’jab bin nafsi
Terjerat
dalam perangkap sikap angkuh. Terhalang dari ridha Allah. Tidak mampu dalam
menghadapi ujian dan cobaan. Dijauhi dan dibenci manusia. Mendapatkan hukuman
dan pembalasan Allah, cepat atau lambat.
Sumber : Buku Aafatn ‘Ala Ath Tharieq
Karya As Syaikh DR. As Sayyid Muhammad Nuh
Post a Comment for "Penyakit Hati | Bagian Ketiga : I’jab bin nafsi (Habis)"